Akhir-akhir ini kehidupan saya, bahkan mungkin kalian, dipenuhi dengan kebingungan yang amat sangat terhadap kekompleksitasan kenyataan dasawarsa ini. Sebuah perasaan subjek internal manusia yang dalam bahasa Jean Jeaques Rousseau, seorang Filsuf Prancis, ia sebut sebagai pasca kehidupan alami, yakni sebuah keadaan manusia sadar akan kehidupan setalah kehidupan alami.
Jika ada kehidupan pasca alami, lalu apa kehidupan yang alami itu? Bagi Rousseau, manusia dilahirkan bebas, tapi di mana-mana kemudian ia tidak menjadi bebas. Penyebab ketidakbebasan itu adalah karena manusia hidup dengan individu lain, yang kemudian kita sebut sebagai masyarakat. Sebab, sebelum terbentuk sebuah masyarakat, manusia berada dalam keadaan alamiah yang bebas. Manusia yang bebas itu adalah "orang liar yang baik". Bisa kita asumsikan, menurutnya, manusia pada hakikatnya adalah baik.
Walaupun bagi Rousseau, dalam keadaan alamiah, manusia sebetulnya tidak baik dan tidak buruk, tidak egois dan tidak altruis. Manusia akan tetap survive, tetap mementingkan kepentingan diri, namun tidak menafikan kehidupan individu lain. Manusia semacam ini sangat mungkin dibayangkan, terlebih pada manusia zaman dahulu di pedesaan. Ketika perilaku manusia kepada manusia yang lain tidak dimotifkan pada sesuatu yang politis. Pengetahuan semacam ini bahkan saya ketahui sebelum saya membaca karya tulisan Rousseau, Kontrak Sosial. Jadi semacam ada perasaan penilaian internal subjek tentang kontras kehidupan alami, yakni semacam kodrat manusia, dan kehidupan pasca alami, yaitu kehidupan bermasyarakat, atau dalam bahasa modern: antar warga negara.
Segera setelah saya membaca, atau lebih tepatnya mengetahui diktum Socrates: "Hidup yang tak diuji, adalah hidup yang tak layak dijalani," segera setelah itu saya melakukan perenungan pencarian terhadap kekompleksitasan dunia ini, --Tentang bagaimana kita menjalani hidup dan bagaimana dunia ini seharusnya?-- kira-kira empat tahun yang lalu setelah saya terlepas dari "kehidupan alami" ala Rousseau, ketika saya keluar dari pedesaan dan melintas ke kota mengenyam pendidikan kuliah. Sebuah sistem pendidikan yang membuka semua kemungkinan diskursus ilmu pengetahuan.
Dimulai dengan kontras antar kelompok, komunitas, atau organisasi yang berlandaskan pada ideologi pemikiran dan gerakan yang jelas berbeda, namun dengan pada keyakinan yang sama: klaim kebenaran antar pihak; sama-sama benar. Lantas, siapa yang benar? Adakah kebenaran lebih dari satu pada rujukan pengetahuan yang sama? Ataukah interpretasi yang berbeda? Atau mungkinkah seperti halnya doktrin ajaran agama moderat, yakni jalan yang berbeda namun pada tujuan yang sama: kebenaran? Saya pikir tidak sesederhana itu juga. Sebab, jika demikian, apakah dibenarkan secara moral universal dan aturan dan tindakan, seseorang yang membunuh manusia atas nama agama? Tidak juga, kan!
Kebingungan saya memuncak ketika saya dituntut untuk memikirkan, "Bagaimana seharusnya kontribusi dan pemikiran yang harus kita tuntun pada kenyataan hari ini yang makin ambyar?" Masalah Ekonomi, Sistem Politik, Pandemi, Pendidikan, dan sebagainya. Sepintas, pasti mendapatkan jawaban, namun sepintas pula kita akan dihadapkan pada jawaban teoritis maupun praktek yang beragam pula.
Misalnya, diskursus tentang Ekonomi Politik: antara Kapitalisme, yang katanya dilegitimasi oleh Liberalisme kemudian berlawanan dengan Sosialisme. Dua diskursus yang acapkali terus menjadi perbincangan dikalangan para intelektual. Sampai saat ini keberpihakan saya belum jelas. Karena bagi saya, ada kedua hal yang dapat dibenarkan dalam dua diskursus tersebut di atas. Walaupun ketidakjelasan keberpihakan saya yang entah ada alasan lainnya yang barangkali pembahasannya yang terlalu rumit karena pembahasan yang bernada romantisme teoritis yang tidak menyentuh dan diletakkan pada fakta konteks kenyataan? Ataukah ketakmampuan kapasitas pemahaman saya? Saya pikir, saya tak juga bodoh-bodoh amat!
Begitu juga dengan problem pandemi covid-19 yang sudah setahun lebih belum ada solusi pencegahan yang efektif. Segala upaya telah dilakukan untuk penanggulangannya: mulai dari lockdown tiap daerah, PSBB, PPKM, dan soal vaksinasi yang ramai juga diperbincangkan, bukan soal menolak vaksinnya, tapi persoalan hak atau wajib. Sementara jumlah korban positif tiap harinya meningkat.
Belum lagi masalah metode pendidikan ditengah wabah, sampai saat ini belum mengalami kejelasan: offline atau online.
Lalu, dari kekompleksitasan kenyataan serta kebingungan ini, bagaimana seharusnya bagi Anda?
Tulisan ini dimulai dengan menyebut tokoh Jean Jacques Rousseau. Baginya, manusia adalah setara. Setara dalam kehendak bebas atau mempunyai otonomi. Namun dengan bermasyarakat, atau katakanlah berwarga negara, otonomi manusia juga ikut hilang, individu-individu yang telah tergabung dalam masyarakat, mau tidak mau, harus mengikuti ketentuan atau kehendak kolektif, maka tidak bisa lagi semata-mata mengikuti kehendaknya sendiri tanpa mempertimbangkan masyarakat, karena ia sadar bahwa upaya untuk kembali pada kehidupan alami adalah hal yang mustahil. Manusia sudah keluar dari kehidupan alami ke kehidupan pasca itu. Sehingga Rousseau memastikan supaya manusia tetap bebas dan setara pada saat ia hidup bermasyarakat.
Apa benang merah dari kekomplesitasan kenyataan hari ini? Dari kekompleksitasan kenyataan dan segala persoalannya, saya mengambil satu titik artikulasi, saya ingin menyebutnya sebagai pra-problem solving, yakni sebuah nilai yang, bagi saya, merupakan titik temu perbedaan, yaitu suatu keadaan damai, persatuan dan ketenangan untuk memecahkan problem kenyataan yang sedang dihadapi. Khususnya dalam penanganan pandemi wabah covid-19. Saya pikir, itu adalah salah satu cara menenangkan suasana yang kian hari kian ambyar. -- Jika kita cek di media sosial, ketegangan dan permusuhan memenuhi tiap-tiap percakapan publik, yang berimplikasi lebih memperparah keadaan.
Nilai tersebut di atas, kesemuanya bisa menerima itu. Ia bisa berlaku dalam konteks apapun. Dalam arti lain, bijak dalam melihat dan menyelesaikan problem. Barangkali, tema-tema lama seperti ini, masih terus relevan untuk terus digaungkan.
Manado, 10 Agustus 2021.
Penulis:
Ahyar Mokodompit