Sampai sekarang, ulasan mengenai betapa profesi dosen penuh masalah masih hangat berlangsung. Anda tinggal klik di google, beragam bahasa yang digunakan untuk menggambarkannya. Dari feodalisme birokrasi, beban kerja ganda, upah yang tidak adil, kesejahteraan dosen, joki penelitian, promosi dosen, masalah penerbitan riset, mode pabrik, liberalisasi pendidikan, aparatus epistemik, dan seterusnya.
Di situ kita mulai paham. Pertama, bahwa yang kita bayangkan profesi dosen sebagai kerja yang santai dan bernilai ternyata menyimpan segudang keluhan. Kedua, dari sini kita tahu mengapa iklim akademik sulit dituntut untuk peka terhadap kebaruan ilmu atau bisa “berpihak”.
Dari persoalan pertama tentu kita bicara mengenai produktivitas dosen. Terlalu banyak kerja administrasi, laporan-laporan, disamping tuntutan untuk mendidik, meneliti, dan mengabdi, membuat produktivitas terganggu. Terutama yang berkaitan dengan prospek penelitian, pengembangan ilmu, juga perbaikan kurikulum.
Bisa dibayangkan, masalah di atas akan menetes sampai pada proses belajar mengajar mahasiswa: dari mata kuliah, isi mata kuliah, sampai model kuliah. Artinya, sulit kita menuntut iklim kebaruan ilmu jika ternyata masalah kerangkeng besi birokrasi kampus sangat kompleks. Dengan sedikit spekulasi, boleh diambil kesimpulan bahwa membaca iklim kemajuan, kebaruan, dan apatisme mahasiswa bisa saja distimulasi oleh iklim intelektual dosen. Masalah utamanya adalah model struktural birokrasi.
Ide awalnya mungkin menejemen birokrasi berbasis sains: kerja dapat diukur, produktivitas dapat diperkirakan, plus dapat dikontrol. Ini seperti gagasan Frederick Winslow Taylor atau yang lebih dikenal dengan model taylorisme: ketertiban dan keteraturan akan menghasilkan kekayaan dan efisiensi. Manajemen ini yang menghasilkan model produksi fordisme. Namun model ini pada masanya ditentang oleh buruh karena taylorisme justru membuat buruh jadi seperti robot yang sangat terspesialisasi juga ditekankan menjadi manusia pekerja dengan tujuan pemburu laba: memikirkan efisiensi dan akhirnya akumulasi kapital. Kita melihat arah profesi dosen menjadi demikian terindustrialisasi seperti itu.
Meski asumsi awal taylorisme adalah efisiensi birokrasi—tidak lagi muluk-muluk dan dapat memprediksi hasil—namun dengan fakta para dosen mulai mengeluh soal kerja dan dampaknya membuat kita mempertanyakan lagi asumsi efisiensi ini: bukankah efisiensi artinya ironi?
Faktanya di awal-awal taylorisme digunakan oleh model birokrasi Nazi Jerman dengan sistem penghancur manusia paling rasional seperti Kamp Konsentrasi, Perang Dunia I maupun II, atau model sistem kapitalistik paling halus yang sering kita sebut sebagai keganasan neoliberalisme. Apa yang tersisa? Absurditas kemanusiaan!
Anda sudah baca riset yang membahas efek artificial intelligence (AI) dalam dunia kerja? Misalnya pengembangan chatbot model ChatGPT atau Google Bard? Atau kesenian yang dihasilkan oleh Midjourney? Nantinya jika kita terus memburu efisiensi dan spesialisasi, maka saingan kita adalah robot AI. Banyak kerja manusia yang mudah dan sudah digantikan oleh AI karena efek dari pengejaran laba tanpa menghitung kemanusiaan.
Ada beberapa usulan untuk memangkas masalah birokrasi perdosenan di atas. Misalnya dengan menggugat aturan Kementerian, atau aturan-aturan yang berkaitan. Ada juga itikad agar dosen ikut berserikat dengan cara bergabung dalam Serikat Pekerja Dosen. Langkah ini sebagai upaya kanalisasi masalah dosen. Diharapkan jika dosen berserikat akan mampu mengintervensi struktur aturan yang kaku dan eksploitatif.
Untuk mengurangi beban administrasi dosen, karena hal itu akan berimbas pada iklim intelektual kampus, diperlukan reformasi struktural. Kita juga perlu mendukung ide dosen untuk membuat serikat. Serikat dosen bisa menjadi posisi tawar secara struktural untuk membongkar struktur birokrasi yang mempengaruhi kebebasan dan kebaruan akademik. Namun dukungan dari non-dosen tidak hanya dalam rangka memperjuangkan kerja-adil dan kerja-layak serta upah dosen. Lebih dari itu kita perlu menuntut iklim intelektual dosen: dari kurikulum, mata kuliah, isi mata kuliah, model kuliah, prospek riset, atau memberi rangsangan kepada mahasiswa untuk mampu berpikir di tengah masalah masyarakat.
Misalnya soal perkuliahan. Berapa banyak mata kuliah yang berkaitan langsung dengan kemajuan ilmu? Atau ikut nimbrung dalam kekaburan debat publik? Ada berapa dosen yang mampu merangsang mahasiswa untuk berpikir kritis berbasis realitas? Bagaimana dengan cara mengajar dosen yang tidak kompeten dengan isu dan itu membosankan? Bagaimana dengan penelitian dosen yang hanya jadi daftar capaian poin namun tidak membuka perdebatan dan dievaluasi secara ilmiah oleh publik? Belum juga bicara mengenai isi penelitian, paradigma pengetahuan, kebaruan ilmu, atau benang merahnya dengan masalah masyarakat.
Melihat gejalah ini, lama-kelamaan peran dosen hanyalah memberi petuah-petuah layaknya orang tua pada umumnya. Kampus hanya berupaya untuk mencetak pekerja, sebagai pabrik industri. Padahal, perusahan robot AI lebih bisa.
Di sini kita harusnya resah dan pesimis akan masa depan kemanusiaan! Tembok kampus hanya jadi pembatas untuk memisahkan diri dengan masyarakat dan perkembangan global. Kampus harusnya menjadi komponen paling depan untuk membicarakan dan memberi argumen untuk segala hal. Itu yang perlu kita tagih!
Fahmi Karim
Manado, 24 Mei 2023