https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F3.bp.blogspot.com%2F-
Pada momentum yang sama, kongres sebelumnya, saya menulis perihal Pemilihan Raya (Pemira) pada Kongres Mahasiswa (KM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado. Pada agenda yang sama, saya kedua kali menulis KM dengan masalah yang berbeda. Sebuah catatan dengan inti yang berbeda ini saya mengangkat persoalan lumrah terjadi dalam konstelasi politik. Dalam negara maupun di kampus.
Kampus selalu saya andaikan sebagai ruang eksperimental dalam tindak hidup bernegara. Jika disederhanakan maka, segala aktivitas dalam kampus baiknya disadari sebagaimana hidup dan bergaul dalam negara. Layaknya negara, dalam konteks kampus, struktur birokrasi tertinggi ialah rektor, hingga lapisan paling bawah yakni Ketua Program Studi (Kaprodi). Seperti presiden hingga ketua Rukun Warga (RW). Namun pada konteks masyarakat, saya serahkan pada pembaca yang budiman bagaimana mengandaikan kategorisasi masyarakat semisal masyarakat kota, sampai masyarakat desa pada negara dalam konteks kampus, silahkan. Jika mau ditambahkan lagi, ada juga satu elemen yang penting dalam kelompok masyarakat yang biasa kita kenal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Saya andaikan kelompok ini sebagai lembaga internal kampus, dan semacamnya.
Elemen kampus minimal meliputi mahasiswa (masyarakat), dosen, dan birokrasi (kekuasaan). Di sana terdapat kegiatan sosial politik antara mahasiswa dan pihak birokrasi. Selalu ada aktivitas interaksi dan transaksional terjadi pada civitas akademika; masyarakat kampus: (mahasiswa dan dosen) tenaga kependidikan, akhirnya disebut warga kampus. Aktivitas sosial dan segala interaksi di lingkungan kampus ini salah satunya kemudian disebut sebagai kegiatan politik, persis kegiatan yang dilakukan dalam kerangka polis (negara-kota). Di sini dimungkinkan berjalannya kegiatan sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya, tradisi, dan lain sebagainya.
Paling kurang hal yang identik pada kegiatan kampus adalah giat pendidikan. Selain giat sosial dan politik. Kampus menjadi otentik dengan giat pendidikannya. Kemudian kampus sebagai institusi harus bersifat mulia dengan independensinya. Berpihak, progresif, inovatif, dan kritis terhadap permasalahan sosial yang ketidakberesannya akibat dari kebijakan politik yang tidak sehat. Bapak republik Tan Malaka dengan sabdanya bahwa dosen dan mahasiswa telah terberikan hak dan kebebasan atas ruang-ruang pengembangan dan implementasi ilmu pengetahuan, serta pengabdian untuk dan pada masyarakat yang ditindas rezim yang zalim. Artinya perguruan tinggi selalu mempunyai pola edukasi yang berkarakter dalam penanaman nilai moral.
Pada rangkaian huruf dan kata-kata kali ini memuat hal yang perlu saya sampaikan secara tersurat. Tulisan ini pasti dan sudah tentu berangkat dari masalah dan sebagai respon atas masalah. Saya mau menilik dinamika politik kampus, salah satu di dalamnya mengenai politik intervensi Kongres Mahasiswa (KM) oleh kekuasaan birokrasi.
Di antara masalah yang ada dan begitu banyak masalah yang ada, setidaknya saya membagi dua masalah serius, yakni; pertama, intervensi pejabat kampus (Wakil Rektor Bidang ke-Mahasiswa-an) terhadap pesta politik Kongres Mahasiswa. Kedua, tingginya sikap pragmatis berbanding lurus dengan rendahnya sikap kritis.
Secara lugas tertulis dalam aturan tata kerja bahwa tugas dari tiap-tiap pejabat harus menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. Namun masih terdapat beberapa prinsip yang gagal diterapkan secara baik. Misalnya pada prinsip sinkronisasi, tidak selaras antara kebijakan yang diputuskan dengan aturan yang berlaku. Bagaimana sebagai pejabat Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan yang memiliki kapasitas sebagai pemangku kebijakan kemudian berbelit-belit serta tumpang tindih atas kebijakan yang keluar dari tiap-tiap putusan yang diambil. Persoalan ini yang kemudian, Putnam, dengan pemikirannya menegur elite politik pemegang kekuasaan cenderung melanggengkan kekuasaan meskipun mengakibatkan pembusukan terhadap institusi itu sendiri. Begitu juga kata Robert Michel dengan teori hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy) mengatakan sekalipun sebuah kepemimpinan organisasi demokratis, pemimpin cenderung mencengkram dan menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi. Dalam hukum fenomena tersebut dikenal sebagai peristiwa hukum.
Dalam hidup saya meyakini dan melihat warna-warni pandangan sebuah kemewahan dan kemegahan pada dunia pemikiran. Dan itu sesuatu yang sunatullah. Sebab pasti mempunyai landasan konseptual. Adalah niscaya dalam diskursus demokrasi terdapat kesetaraan hak dan kesetaraan akses politik. Tidak ada satupun alasan yang dapat menggugurkan dalil tersebut, dalil ini jelas dalam demokrasi. Di lain titik, khususnya pengalaman mengikuti agenda kongres, telah ditemukan kontradiksi antara ide dan praktik dalam gaung-gaung demokrasi. Menarik jika kita menemukan keterpisahan antara ide dan praktik demikian. Sebenarnya dikotomi ini nyaris tidak mungkin apabila sebuah konsep dihayati betul-betul oleh seorang insan. Bahwa sebenarnya telah celaka seseorang kalau tidak sejalan antara ide dan konsep yang ia bicarakan. Seumpama gagasan yang ideal -- katakanlah demokrasi -- digunakan sebagai prinsip lalu dengan percaya diri digaungkan, namun dalam praktiknya selalu didasari pada sikap pragmatis, secara awam fenomena ini tidak lagi taktis, justru ini sebuah sikap yang begitu tragis. Maksud saya, jangan sesekali berbicara demokrasi selama mental masih feodal.
Mengulik perjalanan kongres, secara ekstra saya dan kawan-kawan lainnya mencoba menelanjangkan segala bentuk prasangka buruk, artian tidak apriori dalam merefleksi rangkaian agenda KM. Pada akhirnya sulit kemudian hal ini diterima. Artinya seberapa besar sikap pragmatis pada mahasiswa berbanding lurus pada rendah sikap kritisnya. Secara objektif para pemirsa yang budiman bisa menyaksikan dan menilai secara langsung perjalanan kongres mahasiswa. Meski perbedaan pandangan telah menjadi kodrat dan mempunyai warna dan orientasi yang berbeda, tidak lengkap setelahnya kalau tidak menambahkan sebuah catatan kritis terhadap masalah yang hadir.
Secara sederhana dengan keterbatasan pengetahuan saya melihat ada praktik feodal dalam gaung-gaung demokrasi, seperti yang disabdakan Putnam. Tentu sangat berbeda jauh antara dua hal ini, antara feodalisme dan demokrasi. Yang satu berbicara pendelegasian kuasa agar bisa mengontrol dan satunya lagi berbicara pembatasan kekuasaan. Tidak mungkin hidup dalam satu helaan nafas. Ini yang saya temukan, secara sikap tulisan ini sebagai catatan kritis atas pengalaman kemengadaan saya pada dunia kampus.
Rahcmat Uno
Manado, 25 April 2022.