Turunkan UKT Sekarang Juga!

http://Suka.files.wordpress.com

Masih seputaran masalah uang kuliah tunggal (UKT) yang sampai saat ini belum ada kebijakan dari kampus. Kampus masih simpang-siur dalam menangani permasalahan ini.

Beberapa minggu telah berlalu, bahkan telah berganti bulan. Namun permasalahan ini masih saja mengambang.

Kawan-kawan dari organisasi mahasiswa (ORMAWA) intra kampus, masih tetap mengawal dan menunggu hasil nasional untuk seluruh perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) di Indonesia agar mendapatkan kebijakan baru dari direktorat jenderal pendidikan Islam atau bahkan dari kementerian agama, mengenai masalah UKT saat ini.

Ribuan mahasiswa masih terus menunggu dan entah sampai kapan kita akan terus menunggu. Sementara sebagian lainnya masih saja apatis.

Institut agama Islam negeri (IAIN) Manado, pun tidak luput dari isu ini. Beberapa minggu lalu saya telah menerbitkan tulisan pertama saya, mengenai masalah UKT ini. Tetapi sampai tulisan kedua ini dibuat, nampaknya belum ada gerakan yang pasti dan konsisten dalam pengawalan.

Itu semua dibuktikan mulai dari Pers kampus yang tidak begitu berperan aktif dalam memberikan informasi dan juga berita terbaru kepada kawan-kawan mahasiswa mengenai isu ini, sehingga isu mulai tenggelam.

Seharusnya kita terus mendorong semangat kawan-kawan mahasiswa agar dapat membangkitkan kesadaran, tetapi situasi justru berbanding terbalik.

Akibat informasi yang kurang massif, maka kita akan kesulitan untuk melakukan sebuah gerakan kolektif untuk mendobrak kebijakan ini. Sungguh malang bukan.

Mengapa banyak mahasiswa yang menuntut agar birokrasi kampus memberikan keringanan UKT?

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa belajar dalam jaringan (DARING) membuat mahasiswa tidak memperoleh dan menggunakan berbagai macam fasilitas kampus.

Saya pernah menemui sebuah surat petunjuk teknis mengenai UKT di tahun 2019 kemarin, dan di dalam Juknis tersebut menjabarkan beberapa poin mengenai pemanfaatan UKT ini. Termasuk berbagai macam fasilitas yang ada di kampus, biaya pembelajaran, mahad (asrama), serta beberapa poin lainnya. Ternyata itu termasuk dalam pemanfaatan UKT, ini baru poin pertama yang ingin saya sampaikan.

Yang kedua, kerena pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat tetap berada di rumah. Banyak sektor pekerjaan yang tidak terikat/pekerja lepas: petani, nelayan, pedagang makanan, dan lain-lain mengalami penurunan pendapatan.

Dari hasil pengumpulan data kecil-kecilan yang saya lakukan, saya berhasil mendapatkan bahwa masih banyak kawan-kawan mahasiswa yang pekerjaan orangtuanya sebagai petani, penjual makanan, dan wirausaha kecil-kecilan (warung). Otomatis untuk membayar uang kuliah di situasi yang banyak mengalami penurunan ini, menjadi beban yang cukup berat.

Permasalahan UKT ini bukanlah hal yang mudah, bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19, UKT rutin menjadi sorotan di tiap tahunnya. Bahkan sejak lama selalu diperjuangkan oleh kawan-kawan mahasiswa, karena proses penetapannya yang seringkali tidak tepat.

Kadangkala mahasiswa yang dalam kemampuan ekonominya kurang mampu, mendapatkan nominal UKT yang cukup tinggi untuk dijangkau. Sebaliknya, mahasiswa dalam kategori ekonominya mampu, justru mendapatkan UKT yang lebih rendah.

Beberapa waktu lalu, saya sempat menemui seorang kawan mahasiswa yang mengeluhkan tentang UKT yang begitu tinggi, sementara biaya kuliahnya hanya ditanggung oleh orang lain.

Kawan dengan inisial "PL" pernah mengajukan surat permohonan banding UKT setelah memenuhi beberapa syarat.

Tetapi nyatanya, "PL" bukan malah memperoleh keringanan, justru mendapatkan perkataan yang malang dari pihak birokrasi, “Sudah begitu kalau mau sekolah, anak saya UKT-nya justru lebih tinggi dari UKT anda."

Saya pikir itu bukan sesuatu yang wajar yang dilontarkan pihak birokrasi kepada seorang mahasiswanya yang meminta keringanan biaya untuk pendidikan. Justru harus tertunduk malu karena dibanding-bandingkan dengan anak yang lebih mampu dalam kemampuan ekonomi.

Alasan dari pihak birokrasi yang selanjutnya adalah karena "PL" sudah semester 4 baru mengajukan permohonan banding. Alasan yang tepat untuk menanggapi masalah ini adalah karena nanti di tahun 2019 ada kebijakan dari Rektor yang baru mengenai diperbolehkan mengajukan surat permohonan banding UKT.

"PL" bukan satu-satunya, ada banyak mahasiswa lainnya juga yang merasakan beban yang sama. Ini merupakan akibat dari penggolongan UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan mahasiswa.

Inisial "WM" pun demikian, orangtuanya yang hanya berprofesi sebagai penjual makanan, justru mendapatkan UKT dengan nominal sebesar Rp.2.000.000,. dalam setiap semesternya.

Jika pada situasi seperti biasanya orangtua "WM" mampu menopang biaya kuliahnya dengan hasil usaha yang dilakoni. Tetapi di tengah situasi pandemi saat ini, orang tua "WM" harus tertatih untuk kembali mencari dan berusaha untuk memenuhi UKT "WM".

Situasi saat ini membuat pendapatan penjualan kian menurun drastis dari sebelumnya. Biasanya orangtua "WM" akan mendapatkan hasil sekitar Rp.1.000.000,. - Rp.1.500.000,. dalam penjualan sehari penuh. Tetapi saat ini hanya memperoleh sekitar Rp. 500.000,. dalam semalam. Itu pun belum dipotong dengan modal.

Bertepatan dengan bulan Ramadhan maka orangtuanya tidak lagi menjual kecuali malam hari saja. Bahkan untuk bertahan di situasi pandemi yang entah akan selesai kapan, keluarga "WM" hanya tinggal menggantungkan harapan pada sisa-sisa tabungan yang makin menipis.

Pandemi Covid-19 berimbas besar pada perekonomian, membuat beberapa bahan pangan juga mengalami penurunan harga.

Penurunan harga pangan ini juga berpengaruh bagi mahasiswa, terlebih bagi mereka yang orang tuannya berprofesi sebagai pekerja lepas.

Inisial "CS" misalnya, orangtua "CS" berprofesi sebagai seorang petani, yang hanya mengelolah lahan yang dikontrak keluarganya per satu kali panen; enam bulan sekali. Orangtua "CS" yang berprofesi sebagai petani juga membiayai kuliah "CS" dari hasil panen jagung yang ditanam orangtuanya.

Semenjak pandemi, orangtuanya tidak dapat menjual jagung hasil panen ke pasaran, karena harga di daerah yang mereka tempati; harga jagung mencapai Rp.2.000/Kg.

Anjloknya harga jagung membuat orang tua "CS" harus menyimpan terlebih dahulu hasil panennya sambil menunggu harga kembali stabil.

Kesulitan yang sama harus dihadapi oleh orangtua "CS" yang sedang risau memikirkan biaya kuliah "CS" pada semester berikutnya.

Harga jagung yang tidak kunjung membaik dan biaya kuliah "CS" yang terbilang cukup besar bagi seorang petani, membuat ia harus kembali menimbang-menimbang untuk melanjutkan studi.

Amat miris apabila anak bangsa yang mulai mendekat pada putus asa di tengah perjalanannya menggapai mimpi untuk menciptakan senyum kepada seorang petani. Seorang petani yang hanya menggantung harapan pada jagung yang ditanam di atas lahan yang disewa. 

"PL", "WM", dan "CS" adalah bagian terkecil dari banyak pemuda-pemudi yang mempunyai keinginan melanjutkan studi tetapi dipersulit oleh seleksi kemampuan ekonomi.

Inilah jawaban dari mengapa banyak mahasiswa yang mengeluhkan keringanan UKT kepada birokrasi kampus, pada situasi yang serba sulit ini.

Semoga harapan besar ini mampu diwujudkan oleh birokrasi kampus.

Selamat berharap.



Muhammad Fandi F. Umar. (Mahasiswa semester 4 IAIN Manado).

3 Komentar

Lebih baru Lebih lama