![]() |
Dokpri: foto aksi "Reformasi Kampus Jilid II", (21 Februari 2019) |
Ini adalah tulisan Fahmi Karim semasa kuliah S1 di IAIN Manado, kira-kira tahun 2017. Tulisan ini lahir sebagai sebentuk protes pada beberapa dosen yang membuat beberapa pelarangan kepada mahasiswa; dari cara berpakaian, buku bacaan, sampai terlibat di organisasi ekstra kampus. Pelarangan itu oleh beberapa mahasiswa adalah sesuatu yang ideal karena yang mengatakannya adalah seorang dosen dan juga mempunyai jabatan tinggi. Mahasiswa yang mematuhinya antara takut dan juga karena tidak tahu apa di balik wacana itu. Dari asumsi itu tulisan di bawah berangkat.
Dengan izin dari penulis, kami memposting di blog Nalar Progresif sebagai bentuk edukasi.
----------------
Kampus dalam bahasa latin campus yang berarti “lapangan luas”. Kampus juga berati sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan gedung-gedung universitas, institut atau sekolah tinggi. Kampus sering dikatakan sebagai civitas akademika. Setiap kelas, jurusan, fakultas maupun tingkat yang lebih tinggi mempunyai masing-masing pemimpin, maka dari itu sering juga disebut “miniatur Negara”.
Mahasiswa adalah komponen yang terdapat dalam civitas akademika mewakili unsur intelektual yang tergabung dari berbagai macam latar belakang (heterogen); mulai dari ekonomi (kelas) yang berbeda, sosio maupun kultural. Heterogenisitas ini dalam level tertentu sering diseragamkan. Proses penyeragamannya tidak lain melalui regulasi/kebijakan dari hierarki (paling atas) berupa aturan.
Yang sulit dipahami oleh kebanyakan mahasiswa masa kini adalah perbedaan antara aturan ataupun kebijakan yang telah baku melalui kesepakatan bersama dengan hanya sekedar produksi wacana belaka oleh seseorang yang mempunyai “kepentingan kuasa”. Produksi wacana yang saya maksud adalah bagaimana seseorang yang mempunyai otoritas tertentu menciptakan serangkaian proposisi dalam teks/lisan untuk menjastifiksi atau membentuk stereotype pada orang/kelompok tertentu
Secara historis, perubahan yang terjadi di Indonesia tidak bisa dinafikan dari peran kaum intelektual yang secara eksplisit menyatakan diri sebagai gerakan moral di era pra-kemerdekaan sampai pasca-reformasi. Namun jika berkaca dari sejarah gerakan mahasiswa, seakan pada masa kini (era informasi/pasca-industri), kejayaan mahasiswa hanya menjadi romantisme belaka. Apakah kampus menyumbang bagi kemunduran gerakan mahasiswa pada masa kini?
Dalam pendekatan wacana kritis Foucault (baca: Foucault) terdapat hubungan antara kuasa dan pengetahuan. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki, tetapi dipraktikan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain; di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain, dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Setiap kuasa disusun, dimapankan dan diwujudkan melalui pengetahuan dan produksi wacana. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi; menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana. Individu-individu dikontrol tanpa dia sadari. Kehidupan di kantor, di jalan, rumah sakit, sekolah (kampus), semuanya menginginkan akan kontrol dan disiplin.
Dalam skala kecil kampus, di kelas sendiri bentuk kontrol akan relasi kuasa dan pengetahuan melalui learning contract (kontrak belajar) dalam memulai perkuliahan awal semester. Bagaimana mahasiswa didisiplinkan, diatur, ditata dari etika maupun estetika (meskipun dalam perspektif dosen yang kebanyakan sala tafsir). Di sinilah pembentukan subjek melalui bahasa dilakukan. Antara subjek dan objek mulai masuk dalam ketidak-sadaran mahasiswa sehingga kesadaran kritis mulai didisiplinkan – ini yang saya maksud di awal regulasi atau aturan yang baku.
Pihak rektorat tidak akan mungkin mengontrol atau mendisiplinkan satu per-satu dari sekian banyak mahasiswa yang terdaftar di kampus secara langsung. Ada media yang menjembatani kepentingan tersebut.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur produksi wacana tersebut. Dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Mulai dari penciptaan stereotype pada golongan tertentu, ataupun pelarangan untuk mengikuti beberapa organisasi tertentu (dikatakan buruk, kurang ajar, anarkis). Pendefinisian buruk terhadap gaya berpakaian, sampai pada pelarangan muatan-muatan ilmu pengetahuan (buku bacaan) yang harus didalami oleh mahasiswa. Sebenarnya yang terakhir itu bukanlah aturan yang baku, melainkan hanya produksi wacana oleh otoritas terentu. Kepentingannya apa? Tidak lain adalah kemapanan kekuasaan dan mempertahankan status quo.
Proses produksi wacana erat kaitannya dengan seseorang yang memproduksi wacana, mulai dari jenis kelamin, ekonomi, kultural, ideologi ataupun posisi kekuasaan. Seorang yang pro terhadap Orde Baru akan menceritakan kegagahan Orde Baru dan menafikan kediktatorannya. Komponen-komponen intektual dalam kampus pun menerima produksi wacana tanpa membaca makna di balik teks yang diproduksi melalui kajian analisis wacana kritis. Pembaca dan teks sama-sama mempunyai andil yang sama dalam mereproduksi pemaknaan, dan pemaknaan tersebut menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam hubungan sosial. Pada titik inilah ideologi bekerja. Akhirnya tercipta sekat-sekat dalam di kaum mahasiswa yang semestinya batas-batas identitas tidak dipertebal melalui produksi wacana yang telah menjadi mapan; kekuasaan tidak melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi.
![]() |
Proses pendisiplinan dan kontrol melalui produksi wacana (relasi kuasa dan pengetahuan) |
Menjawab pertanyaan di awal tulisan saya: apakah kampus dalam hal ini turut menyumbang pada kemunduran gerakan mahasiswa (baik intelektual berupa kesadaran kritis maupun praksis dalam bentuk gerakan)? Bagi saya secara pribadi, kampus ikut menyumbang melalui produksi wacana yang diciptakan oleh “kuasa tertentu”. Kampus selalu berlomba-lomba dalam pembangunan, namun pembangunan yang dilancarkan hanyalah pembangunan infrastruktur berupa gedung-gedung dan fasilitas. Pembangunan yang semestinya itu adalah pembangunan dari segi gagasan, intelektual dan kesadaran kritis agar unsur intelektual yang menempel pada mahasiswa tidak sekedar utopis belaka.