![]() |
Ilustrasi Nalar-Progresif (dok.https://radaraktual.com/33973) |
Ada dua pilihan: menjadi apatis, atau mengikuti arus. Tapi aku memilih menjadi manusia yang merdeka. - Soe Hok Gie -
Saat ini, tak ada hentinya problem atau permasalahan-permasalahan di berbagai sektor kehidupan. Wajar lah yaa... Apalagi berhadapan dengan pandemi Covid-19. Saya pikir di berbagai media, entah itu media cetak maupun elektronik, tidak akan ada henti-hentinya memberikan sajian informasi persoalan pandemi ini.
Yang menjadi inti tulisan saya kali ini yakni persoalan di “Sektor Pendidikan”.
Salah satu pengamat pendidikan Mohammad Abduhzen, ia menilai pendidikan di Indonesia sekarang ini terlalu kaku, birokratis, dan seperti hampa makna, semisal proses mempraktikkannya. Sistem pembelajaran yang digunakan mutunya sangat melekat pada ukuran-ukuran atau standar sasaran muatan kurikulum, hampa makna, dan dimungkinkan sangat pragmatis. "Apabila sistem tersebut masih dijalankan di Indonesia, maka akan menghasilkan sarjana kurang bermutu," ujarnya.
Saya sendiri merupakan mahasiswa di perguruan tinggi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado yang sedikit lagi akan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sulawesi Utara, katanya. Sekiranya bagi saya, menempuh pendidikan itu perlu. Karena kenapa? Yah karena pendidikan memiliki peranan penting dalam melahirkan dan membentuk pribadi-pribadi anak bangsa, semuanya berhubungan erat pada dasar atau nilai.
Di tahun 2020, merupakan tahun yang suram untuk mahasiswa baru. Kita tahu bahwa setiap bulan Agustus atau september menjadi awal tahun ajaran baru, kemungkinan untuk semua kampus. Di kampus saya karena pandemi berbagai aturan dikeluarkan. Seluruh aktivitas dilakukan secara daring atau model interaktif berbasis internet. Padahal untuk mahasiswa baru pada umumnya, sebelum memilih ke jenjang perkuliahan telah ada gambaran dalam pikiran setelah menjadi mahasiswa nanti untuk pertama kalinya. Entah itu datang langsung ke kampus dan bertemu dengan teman-teman baru, atau kuliah sesuai dengan jurusan yang ia pilih.
Sangat disayangkan harapan tak sesuai dengan kenyataan. Mereka harus tetap berada di rumah, dan menjalankan aktivitas perkuliahan untuk pertama kalinya dengan situasi yang berbeda. Tidak tatap muka secara langsung, akan tetapi melakukan kegiatan secara daring.
Sistem kurikulum berbasis digital pun mulai dijalankan. Implikasinya pendidikan kita seperti dipaksa untuk berubah. Sekiranya juga bukan hanya pandemi Covid-19 yang membuat wajah dan masa depan pendidikan kita menjadi tidak menentu. Bukan baru hari-hari ini saja kita mengeluhkan realitas pendidikan kita, tapi sejatinya sudah sejak lama permasalahan pendidikan kita di Indonesia belum terselesaikan. Mulai dari permasalahan pendidikan yang muncul dari perspektif sistemnya, sampai permasalahan pendidikan yang muncul sebagai suatu sistem keseluruhan yang kompleks.
Sederhananya: Pendidikan di Indonesia melalui institusi kampus seolah senang terus berada pada zona nyaman, hanya menjadi menara gading yang terus bersolek dengan hal-hal yang aksidental saja, seperti lebih banyak disibukkan dengan program mempercantik bangunan infrastruktur kampus, tetapi justru nampak minim aktivitas, baik secara kuantitas maupun kualitas yang mengarah kepada pencapaian “tujuan pendidikan” itu sendiri.
Belum lagi, sistem di kampus yang selalu membumbuhi suapan rancangan, tidak memberi kekenyangan sedikitpun. Akan tetapi hanya mendatangkan lapar kembali, dan hanya menawarkan sembari tetap mengatur.
Entah mahasiswa sadar atau tidak, yang kuliah hanya sekedar kuliah. Bersikap adaptif dan pasif terhadap aturan-aturan yang dikeluarkan oleh stakeholder yang berada di kampus, meskipun ada aturan-aturan yang dikeluarkan bertentangan dengan yang semestinya. Mahasiswa kebanyakan memilih bungkam, takut bersuara. Padahal kritik itu boleh, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan tinggi.
Saya kembali bernostalgia sejak semester satu. Waktu itu terjadi demonstrasi di kampus: Revolusi Kampus Jilid 2, persoalan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terlalu mahal, dan ada aturan kampus yang mengharuskan mahasiswa menggunakan seragam seperti halnya siswa, dengan alasan agar terlihat rapi, sopan, dan lain sebagainya. Saya menjadi bagian dari massa aksi pada saat itu, dengan memilih tidak mengikuti mata kuliah yang terjadwal di hari itu juga.
Singkat cerita, ketika aksi sudah usai, teman saya mengatakan bahwa ada seorang dosen yang masuk kelas dan menanyakan kemudian mencatat nama mahasiswa-mahasiswa yang ikut demo. Kemudian ditakut-takuti dengan alasan tidak akan diluluskan mata kuliahnya, juga tidak akan diberi nilai dan... bla, bla, bla.
Terlalu banyak individu yang takut kritik, sehingga ketika seorang melakukan kritik dianggap sebagai hal yang tabu, tidak tahu sopan santun, merenggangkan tali persaudaraan, dan menimbulkan kerisauan di dalam hati sehingga banyak orang muak dan benci.
Nah, hal-hal seperti itu yang kemudian membuat sebagian teman-teman saya menjadi mahasiswa seperti yang saya maksudkan sebelumnya; apatis. Dan kita bisa melihat pada dasarnya, sejak awal mahasiswa itu sudah dibentuk atau seperti ditanamkan karakter tunduk, hal ini yang dimaksud untuk mendegradasi potensi kritis para mahasiswa. Mereka ingin mahasiwa itu mengikuti dan menerima seluruh aturan yang berjalan di dalam institusi pendidikan. Dan, sebagian mahasiswa memang menjadi takut dan bungkam untuk mengkritik.
Sejatinya mahasiswa merupakan agen of change, social control, dan lainnya. Sudah menjadi istilah-istilah yang tidak asing lagi karena merupakan kaum intelektual yang seharusnya berada di garda terdepan dalam melakukan perubahan. Akan tetapi, apakah sekarang ini esensi itu masih kemudian terlihat? Dengan fenomena-fenomena yang terjadi, itulah yang membuat mahasiswa terbagi menjadi beberapa golongan, “aktivis”, “apatis”, “hedonis”, dsb.
Kita tidak bisa pungkiri juga bahwa masih ada sekelompok mahasiswa yang sampai saat ini sadar akan fungsinya. Masih turut serta menyuarakan kebenaran, dan masih memperjuangkan nasib rakyat. Misalnya dengan berdemonstrasi, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan kritis. Meski masih ada mahasiswa yang anti-demo. Katanya hanya membuat keributan saja, penyebab macet jalan dan lain-lain.
Dewasa ini pun banyak terjadi aksi atau gerakan-gerakan dari mahasiswa. Kita harus ingat bahwa ada hal-hal yang mendasari itu. Bahkan saat ini di internal kampus saya, ada persoalan yang masih menuai kecaman oleh mahasiswa. Yakni: aturan kampus yang tumpang-tindih. Persoalan tidak boleh beraktivitas apapun di kampus, untuk menghidari menularnya virus corona. Itu aturan yang dikeluarkan, tapi ternyata benar, "hukum dibuat untuk di langgar."
Berbagai aktivitas mulai dilakukan di lingkungan kampus. Mulai dari kegiatan MTQ, LKM yang dibuat 4 fakultas, dan lain sebagainya. Itu yang menuai kecaman dari mahasiswa IAIN Manado. Kuliah tetap online, padahal penyerapan materi tidak begitu efektif, alias tidak terlalu bisa dipahami, dikarenakan berbagai kendala, baik itu persoalan jaringan, data internet, dsb.
Belum lagi soal aksi penolakan Omnibus Law kemarin, persoalan berbangsa dan bernegara; untuk hajat hidup orang banyak. Tapi kebanyakan mahasiswa tidak ada yang betul-betul menyuarakan ketimpangan aturan ini, padahal kita sebagai mahasiswa haruslah bersemangat untuk terus menyurakan keadilan, menyuarakan kebenaran. Karena memang, bagi saya, apa yang lebih puitis dan indah tidak lain adalah berbicara soal kebenaran.
Orientasi dan tujuan gerakan kita sebagai mahasiswa harus sama. Perubahan sosial tidak akan ada jika hanya dengan gerakan sekali, atau dua kali (misalnya demonstrasi), lalu selesai. Tidak ada kontinuitas atau keberlanjutan arah geraknya. Seperti yang sering dilakukan oleh DEMA, SEMA, dan lembaga-lembaga internal lainnya yang ada di kampus kita. Gerakan atau “aksi” seolah-olah hanya bersifat formalitas dan menjadi momen-momen sesaat saja.
Seharusnya, pendidikan tinggi menjadi bagian dari institusi sosial yang ikut mendorong terbentuknya masyarakat etis-demokratis. Ketika pendidikan tinggi kehilangan nalar kritisnya maka ia tidak mampu menjadi pencerah bagi masyarakat, atau menjadi agen untuk membuat perubahan di masyarakat. Namun sebaliknya, pendidikan tinggi semakin jauh dari realitas masyarakat.
Seperti yang di katakan oleh Soe Hok Gie, diawal tulisan ini. Saya memaknai kata 'merdeka' yang di maksud yaitu: kapan bersikap apatis, kapan menjadi merdeka dalam memilih, kapan mengikuti arus, dan kapan harus melawan arus, bila dirasa perlu dan sesuai menurut nilai kebenaran yang kita yakini.
Dan terakhir, Saya bukanlah pemilik kebenaran yang mutlak.
Manado (28/11/2020)
Arisa Zakaria
Mahasiswa IAIN Manado