Demokrasi Bertekuk Lutut

Dokpri.Nalar-Progresif (Foto:adm)


Suasana demokratis tentu akan kita jumpai dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Fenomena Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 kemarin adalah bukti kecil. Sulawesi Utara juga baru selesai menyelenggarakan kontestasi politik dalam momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di beberapa kabupaten/kota. Ada rasa antusias di kalangan masyarakat. Memang Pemilu salah satu variabel dari demokrasi, bahayanya adalah pandangan bahwa Pemilu merupakan inti dari demokrasi. Padahal, ada proses setelah Pemilu, yaitu mengawal kebijakan dan program.


Sosok pemimpin yang ideal tetap menjadi harapan setiap warga negara. Apa bentuk antusias dari para pemilih? Misal dengan mengkampanyekan para kandidat, menginformasikan gagasan dan ide dari para calon pemimpin, bahkan lebih taktis lagi ada yang terlibat dalam tim pemenangan. 


Dalam demokrasi juga ada beberapa indikasi yang dilihat sebagai kesehatan dalam menjalankan sistem demokrasi. Contoh rekrutmen politik secara terbuka. Maksudnya diselengarakan dengan kompetisi terbuka yang melibatkan keseluruhan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok. Dalam merawat demokrasi, minimal warga negara bisa mengawal kinerja dari para pemimpin, rakyat menilai sejauh mana keberpihakan negara terhadap warga negara, melancarkan kritik, menagih kesetaraan hak, melihat di mana kesejahteraan sosial dialamatkan dan lain-lain.


Dalam konteks nasional tentu ada euforia tersendiri di kalangan masyarakat. Berbeda juga dengan lingkungan akademik atau perguruan tinggi yang akan melaksanakan pemilihan ketua-ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas sampai Ketua Dema Institut. Ada gairah dari kawan-kawan mahasiswa ketika mendengar kabar akan dilaksanakan pemilihan di lingkungan kampus. Seperti perhelatan politik di kancah nasional. 


Kampus sering disebut miniatur negara, yang juga ingin mewujudkan cita-cita demokrasi. Praktik pemilihan ketua lembaga seperti saat ini adalah bagian kecil dari wujud demokrasi. Namun, masalahnya, pemilihan ketua lembaga tidak melibatkan seluruh mahasiswa. Pemilihan hanya dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dan beberapa perwakilan.

Misalnya, pemilihan Ketua Dema Faklutas tidak seluruhnya melibatkan mahasiswa. Pemilihan Ketua Dema Institut (Presiden Mahasiswa) juga tidak melibatkan seluruh mahasiswa, hanya dipilih oleh Dema Fakultas yang seolah adalah benar-benar perwakilan mahasiswa. Apakah mereka mewakili suara saya, atau Anda? Tidak juga. Terus apa yang membuat kita mengatakan kampus adalah miniatur negara? Adakah demokrasi di kampus?

 

Semua memiliki kepentingan, termasuk semua individu tiap mahasiswa memiliki kepentingan. Harusnya kepentingan tiap individu terakomodir agar kesetaraan hak tetap terjamin. Agar kita benar-benar menjalankan amanat konstitusi: hak memilih dan dipilih setiap warga negara. 


Partisipasi seluruh mahasiswa dan keterlibatan dalam kontribusi politik adalah penting dalam demokrasi. Semua harus terlibat dalam kompetisi terbuka. Semua mesti setara (equality before the law), satu orang satu suara (one man one vote). Jika hilang keterlibatan seluruh mahasiswa dalam pemilihan berarti “membatalkan” dalil demokrasi, karena cacat dalam proses. Konsekuensi terburuknya berarti kita batal dalam bernegara di lingkungan kampus. Kita gagal menjalankan amanat konstitusi.


Dalam lingkungan perguruan tinggi di beberapa daerah, misalnya, telah melakukan bentuk Pemilihan Raya (Pemira). Semula saya berharap bahwa pemilihan Presiden Mahasiswa dengan Pemira. Saya tak mau kehilangan momentum pemilihan Ketua Umum DEMA IAIN Manado (Presma). Namun fakta berkata lain: berbeda dengan Pemira, pemilihan Presma IAIN Manado hanya diwakilkan oleh tiap-tiap delegasi dari Fakultas Tarbiyah, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ushuludin, Fakultas Syariah. Sangat disayangkan.


Apa yang mencirikan demokrasi dari bentuk pemilihan seperti itu? Kalau Pemilu adalah variabel kecil dari banyaknya variabel dalam demokrasi, bagaimana dengan tidak diselenggarakan kompetisi terbuka terhadap seluruh mahasiswa? Setidaknya seluruh mahasiswa dapat terlibat dan mendapatkan hak memilih yang sama dalam pengambilan satu keputusan politik. Sekali lagi, kita batal dalam menjalankan miniatur negara di lingkungan kampus. Karena itu kesadaran semacam ini harus ditujukkan ke seluruh mahasiswa. 


Apakah pemilihan hari ini sudah menampakkan nilai-nilai demokrasi? Bagi saya tidak. Secara pribadi saya melihat ada yang tidak dilibatkan. Siapa itu? Keseluruhan mahasiswa. Terus mahasiswa sebagai masyarakat kampus memilih siapa? Ini bukan lembaga yang dijalankan oleh segelintir kelompok.


Jika nanti ada mahasiswa yang tidak mengakui Presma yang terpilih dengan alasan dia tidak terlibat memilih dan tidak mendapatkan hak pilih, itu sebuah konsekuensi dan kritik tajam suatu kegagalan demokrasi.


Dalam kontestasi menang kalah adalah biasa, juga menjunjung sportifitas pertarungan; pertarungan ide, gagasan, konsep kepemimpinan dan lain sebagainya. Mungkin hari ini, hari esok atau nanti yang akan dikenang dalam momentum kali ini adalah proses; sejauh mana proses kita mengindahkan atau menjalankan sistem demokrasi. 


Setelah ini Pemira adalah sebuah pencapaian di kompetisi pemilihan berikutnya. Jangan alasan pandemi. Di kondisi pandemi teknologi bisa menjadi alternatif. Sekali lagi, tujuan berikutnya adalah Pemira di kontestasi pemilihan selanjutnya. 


Mandataris Ketua Dema IAIN Manado masa bakti 2021-2022 baru saja terpilih. Ada banyak doa, juga banyak harapan dibebankan ke setiap pemimpin. Saya lebih memilih memberinya selamat dengan sebuah kritikan.


Semoga amanah dan tidak lelah. Semoga bijak dalam gerakan. Semoga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.



Manado (12/02/2021)


Rachmad Uno

Mahasiswa IAIN Manado



2 Komentar

Lebih baru Lebih lama