![]() |
IAIN Manado (Dok.nalar-progresif) |
Tulisan di bawah ini adalah tulisan dari Fahmi Karim semasa kuliah S1 di IAIN Manado, kira-kira tahun 2017, dengan judul asli "Hegemoni Kapitalisme dan Produksi Ruang". Tulisan ini adalah refleksi kritis dari pengalihan daya (outsourcing) IAIN Manado ke perusahan swasta: bagaimana kapitalisme masuk di dunia akademik dengan halus.
Tulisan ini, secara substansi, baik kata maupun kalimat tidak ditambah ataupun dikurangi (orisinil), hanya diperbaiki penulisan kosakatanya agar tidak mengganggu pembaca.
Dengan izin penulis, kami memposting di blog ini untuk edukasi dan menambah perspektif. Meskipun bagi penulis tulisan di bawah banyak terdapat ide-ide yang tidak konsisten dan kacau, namun untuk keperluan menambah wawasan kritis, dan sebagai pembuka jalan perdebatan, ini menjadi perlu.
------------------------------------
Ketika mendengar nama Karl Marx, banyak perspektif mengenai salah satu tokoh sosiolog maupun ekonom satu ini, khususnya masyarakat pasca-reformasi. Tidak terlepas apakah positif ataupun negatif. Tergantung struktur ideologi yang mengilhami masyarakat maupun individu-individu. Pertama, yang terbangun dalam ingatan masyarakat adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) berdarah masa Orde Lama sampai masa transisi 1965/66 yang merupakan tindakan tidak manusiawi. Kedua, seorang ateis yang melancarkan kritik terhadap agama, mengatakan agama adalah candu bagi masyarakat. Ketiga, sistem kapitalisme yang mengerogoti sendi-sendi kehidupan, manusia menguasai manusia yang lain dengan modus produksi.
Yang pertama adalah sudut pandang yang sengaja dibangun dan ditanamkan rezim Orde Baru. PKI pemberontak, dalang dari kematian para jendral adalah PKI, anarkisme, pelabelan negatif (stereotype) kepada PKI atau yang beraliran Marxisme (meskipun Maxisme sendiri mengalami tambahan landasan teoritik yang bukan dari Marx) melalui produksi wacana. Sehingga, masyarakat Orde Baru dan pasca-reformasi mengalami paranoid terhadap komunis ataupun Marxisme.
Yang kedua merupakan oleh Marx, agama adalah candu masyarakat yang sebenarnya kritik Marx bukan kepada ada atau tidak adanya Tuhan (ontologi), namun kritik yang dilancarkan Marx pada sisi praksis (sosiologis). Bagaimana kemudian orang yang mendalami agama seolah mengabaikan peristiwa sekitar atau yang terjadi pada dirinya adalah takdir yang tidak bisa diubah. Agama menjadi legitimasi bagi perkembangan dan kemajuan kapitalisme, ini juga dijabarkan oleh Max Weber dalam Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Ketiga adalah nama Marx selalu berkaitan dengan kritik tajam yang dilancarkan terhadap ideologi ekonomi-politik kapitalisme yang telah menempati seluruh sisi-sisi dimensi ruang kehidupan. Modus produksi yang menguasai manusia lain dengan mengeksploitasi tenaga kerja besar-besaran untuk memperoleh Nilai-Lebih (surplus value) melalui kesadaran palsu. Nama Marx seolah menjadi hantu yang terus membayangi masa depan sampai ke sendi-sendi kehidupan para pemodal.
Di sini saya tidak akan membahas poin pertama dan kedua yang telah menjadi wacana musiman akhir September atau awal bulan Oktober. Karena proses berjalannya waktu, sejarah mulai digali dan terungkap melalui metode pengungkapan. Kebenaran-kebenaran akan peristiwa masa lalu mulai ditampilkan seiring dengan dibukanya kebebasan pers di publik. Saya lebih tertarik dengan persoalan kritik Marx terhadap kapitalisme. Ada banyak sekali problem-problem kekinian yang dalam hal ini kapitalisme turut menyumbang terhadap berlangsungnya patologi sosial sebagai faktor pendukungnya. Kemiskinan, kelaparan, penggusuran, rekayasa sosial tidak bisa dipandang sebagai hal yang alami tanpa melibatkan satu ideologi besar melalui analisa ekonomi politik.
Dalam sistem kapitalisme sendiri yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dalam pemikiran ekonomi Yunani Kuno, Plato dikatakan sebagai orang pertama yang sangat mengecam kekayaan dan kemewahan. Agar tiap orang bisa hidup sejahtera scara merata, manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran. Menurut Plato, kalau nafsu keserakahan ini tidak bisa dikendalikan, sebagian orang (cerdik, pintar dan berkuasa) akan hidup berkemewahan. Sementara itu yang lain akan hidup dalam kesengsaraan dan kehinaan (Deliarnov: 2010)
Kapitalisme (pemodal) sendiri memperoleh keuntungan bukan dari hasil penjualan suatu barang, melainkan keuntungan yang didapat adalah hasil dari eksploitasi jam kerja para buruh yang bekerja di perusahaan tersebut (surplus value) yaitu nilai-lebih absolut: penambahan jam kerja para buruh, dan nilai-lebih relative, yaitu pemotongan gaji karyawan. Kapitalisme selalu melakukan produksi ruang guna memperlebar ketimpangan pembangunan; perumahan, pelebaran jalan maupun sentralisasi pembangunan di wilayah urban. Harus ada wilayah yang maju dan harus ada wilayah yang tertinggal agar supaya produksi geografis kapitalisme tetap mempunyai ruangan-ruangan garapan baru. Daerah yang merasa tertinggal akan mengejar ketertinggalannya melalui paradigma pembangunan wilayah perkotaan.
Develomentalisme mulai menjadi paradigma pembangunan wilayah-wilayah tertinggal, di situlah kapitalisme mulai memainkan perannya. Namun yang menjadi pertanyaan, dari manakah kapitalisme (pemodal) masuk dan mengerogoti semua sendi-sendi kehidupan?
Dalam tulisan Al-fayyadl di Harian IndoPROGRESS, negara yang dulunya menjadi negara bangsa sebagai cita-cita kemerdekaan dan pencapaian praksis ideologi Pancasila telah menjadi Negara-kelas, yaitu negara kelas kapitalisme. Kapitalisme sendiri hadir bukan dengan secara sendirinya, namun melalui proses legitimasi oleh negara (masyarakat politis) yaitu melalui kesepakatan.
Persetubuhan antara negara dan kapitalisme sendiri tidak bisa dielakan. Pemodal/kapitaisme di daerah-daerah tertentu mengadakan kerjasama, termasuk dengan institusi negara juga melakukan kesepakatan dengan kapitalisme, salah satunya kampus yang berbasis Islam IAIN MANADO.
Kerjasamanya yaitu melalui aturan yang dinamakan outsourcing: pengalihan daya ke perusahaan. Outsourcing sendiri adalah pengambli alihan/pengalihan daya para cleaning service dan security guard/satpam kepada salah satu perusahaan swasta. Para karyawan yang dulunya bekerja kepada kampus, sekarang menjual tenaga kerjanya/kemampuan kerjanya sebagai orang yang tidak memiliki alat produksi kepada perusahaan. Sebagai gantinya kampus membayar ke perusahaan. Ada berbagai macam asumsi yang dapat dibangun terkait soal kerja sama antara kampus dan kapitalisme.
Pertama, kampus memiliki sistem manejerial yang efektifitas dan efisiensinya diperbesar semaksimal mungkin (McDonaldisasi). Sehingga akumulasi gaji pokok untuk karyawan (A) ditambah penyediaan alat produksi (P) lebih besar dibandingklan pembayaran kampus kepada perusahaan (X).
A + P > X
Misalkan, gaji pokok seluruh karyawan selama 1 bulan di kampus adalah 15.000.000/bulan, penyediaan alat produksi 5.000.000/bulan. Jika dijumlahkan = 20.000.000/bulan uang yang harus dikeluarkan oleh kampus untuk karyawan per bulan. Pembayaran kepada perusahaan (terima hasil) adalah 17.000.000/bulan. Kampus mempunyai niai-lebih (surplus konsumen) sebesar 3.000.000. Jika memang kampus berorientasi laba.
Kedua, kampus mengalihkan daya ke perusahaan sebagai langkah ketidakpercayaan kepada karyawaan pembersih maupun penjaga kampus, hasil dari kerja tidak memuaskan dari segi kemajuan kampus sehingga kampus menyerahkan kepada perusahaan sebagai mitra yang dilengkapi pengawasan yang ketat serta alat produksi yang disediakan secara lengkap. Kampus berorientasi kemaksimalan hasil.
Ketiga, kampus membuka pintu masuk pemodal di wilayah civitas akademika, membenarkan sistem kapitalisme dan menormalkan kerjasama antara kapitalisme dengan kampus. Ketika mahasiswa mengalami budaya bisu, formasi legitimasinya melalui produksi wacana, yaitu tidak ada yang salah dengan kerjasama antara kampus dan perusahaan. Meskipun hegemoni kapitalisme mulai menjalar ke ruang masyarakat intelektual.
Dialah Pak Mat seorang cleaning service perpustakaan IAIN Manado yang berbagi kekesalan dan ketidakberdayaannya dengan saya. Pada dasarnya, dalam pembagian kelas antara borjuis (pemodal dan pemilik alat- alat produksi) dengan kelas proletar/buruh (yang tidak memiliki alat produksi hanya menjual kemampuan kerja), kaum buruh sebagai kelas yang tertindas, karena tidak mempunyai alat-alat produksi menggantungkan hidupnya kepada kelas borjuis sebagai kelas penindas. Kedudukan kelas sosial mempengaruhi kesadaran dan cita-cita yang akhirnya para buruh menjadi tidak berdaya. Terlihat di tempat-tempat tertentu, orang-orang yang mempunyai banyak harta kekayaan menjadi patokan moral ataupun etika yang secara kultur dibenarkan.
Relasi ekonomi mempengaruhi relasi sosial, relasi sosial mempengaruhi kesadaran masyarakat. Tujuannya yaitu modus produksi oleh para pemodal atau kapitalisme.
Dalam sistem outsourcing, cleaning service harus bekerja semaksimal mungkin karena mengalami pengawasan yang ketat dibanding sebelumnya yang masih menjual tenaga kerjanya di kampus. Setiap waktu melakukan pembersihan meskipun penggunjung di perpustakaan sangat sedikit. Disertai dengan alat-alat produksi yang baru sehingga sulit menyesuaikan dan mengalami problem dalam bekerja. Ini yang dimaksud George Ritzer dalam McDonaldisasi sebagai penggantian teknologi non-manusia untuk teknologi manusia, yaitu orang-orang yang tak terampil yang mengikuti petunjuk rinci dan metode alat-alat produksi.
Para karyawan bekerja bukan berdasarkan keinginan atau kemauan untuk mencapai proses maksimal, para pekerja harus menyesuaikan dengan sistem yang mengikat (baik waktu maupun cara kerja) dengan perusahaan yang bekerjasama dengan kampus. Pekerja pun tidak mengalami kebahagiaan saat bekerja karna dihantui oleh sistem pengawasan perusahaan. Inilah yang disebut pekerja teralienasi dari kerjanya. Buruh tidak bekerja untuk dirinya tapi bekerja untuk perusahaan. Buruh jadi terasingkan dengan pekerjaannya. Meskipun gaji pokoknya mengikuti UMP, namun yang harus disadari, ketika gaji pokok naik, harga-harga kebutuhan hidup manusia juga naik. Namun karna buruh masih dalam paradigma kelas tertindas akan selalu diam dan melanggengkan penindasan tersebut.