Cerpen | Perkara Budaya

Ilustrasi Om Google


Rahma didera kebingungan. Bulir keringat yang mengumpul di sekitar dahi, juga jilbab putih yang sedikit miring tidak lagi menjadi prioritas utama. Di kelas yang lenggang hanya ada dirinya, Ningsih dan Ayu dalam sekejap berubah menjadi arena debat panas mengalahkan acara debat terkenal yang berada di saluran televisi swasta.

“Kenapa kalo di-mix sih?! Rahma aja enggak protes kok!”

“Tapi aku yang protes! Tari tradisional enggak boleh dicampur sama tarian oppa-oppa kamu itu, Yu!”

“Emang apa salahnya sih? Keren tau!” kekeh Ayu.

Ningsih berdecak sebal. “Kesannya kamu enggak menghargai budaya kita, Yu. Apa salahnya sih ngikut tarian tradisional dengan benar?” suara Ningsih mulai melunak. Ia benar-benar lelah menghadapi Ayu yang menurutnya sangat menyebalkan. Bisa-bisanya ia menyarankan beberapa gerak tari dirombak sedikit dan dimasukkan gerak tari modern. Waraskah dia?

“Tapi ini eranya modern, Ning. Anak muda zaman sekarang kebanyakan lebih tertarik sama yang berbau modern. Apa salahnya sih menarik atensi penonton?”

“Justru itu. Karena sekarang zamannya modern, aku ingin anak muda seperti kita kembali mencintai dan melestarikan budaya Indonesia. Merangkul kembali pelakon seni yang turut membudidayakan budaya, jika bukan kita siapa lagi?”

“Tapi kita juga harus membuat kolaborasi kita menjadi unik Ning, agar nilai kita bertambah di mata Bu Wina dan usulanku itu termasuk bagus!”

“Kamu...” geram Ningsih

“Kalian berdua udah dong adu mulutnya,” Rahma sedikit memelas. Kepalanya ditelengkan berapa kali. Pening mendengar adu mulut keduanya yang tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Kalau begini terus bel masuk akan berbunyi dan mereka bertiga tak akan sempat istirahat siang.

“Dia menyebalkan banget, Rah. Masa usulanku ditolak sama dia, kamu bahkan enggak protes sama sekali.”

“Bagaimana mau protes, Rahma orangnya enggak enakan. Enggak seperti kamu yang pemaksa, bahkan aku bisa menjamin seratus persen. Para pelakon seniman akan menangis mendengar pemikiran kamu yang dangkal itu.”

Rahma kehabisan kata-kata. Ningsih terlalu jujur mengungkapkan isi hatinya. Tidak peduli bahwa ucapannya yang ceplas-ceplos bisa membuat orang yang dibicarakan sakit hati atau kesal.

Di hari berikutnya. Rahma berjalan lesu menuju kelas XII IPS 1. Ketika teman-temannya menyapa, ia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Pikirannya sedang tidak tentu arah. Bercabang-cabang lagaknya labirin yang tidak mempunyai jalan keluar.

Tas dukung miliknya diletakkan di atas meja. Matanya berpendar mencari-cari Ningsih dan Ayu. Senyumnya merekah ketika mendapati Ayu yang duduk di seberang sana. Di pojok samping kanan sedang membaca novel bersampul biru. Rahma mendekat sambil menarik kursi di sebelah. Duduk di sana bersama tatap harap-harap cemas.

“Yu,” panggilnya pelan.

“Hem?” Ayu masih tidak beranjak pada kegiatannya. Malah dia makin fokus melahap cerita yang mulai memasuki babak konflik.

“Kamu dan Ningsih...” Rahma bertanya ragu-ragu.

“Ya ampun, Rah. Bisa enggak sih, kamu enggak nyebut namanya? Kesel aku.” Ayu akhirnya mengalihkan seluruh perhatiannya pada Rahma. Mendengar Rahma membahas masalah antara dirinya dan Ningsih membuat telinganya tiba-tiba panas. Dirinya masih kesal tentang kejadian kemarin di mana Ningsih mengatakan hal menyakitkan padanya. Apa salahnya sih atas usulan yang diberikannya?

“Tapi kalian berdua udah baikan kan?” pernyataan yang dibuat sedemikian meyakinkan malah terdengar ragu-ragu di mulut Rahma. Jangan sampai mereka bertengkar lagi, harapnya cemas.

“Aku enggak mau berteman sama Ningsih, Rah. Orangnya emosian, sakit hati aku denger dia ngomong hal-hal yang enggak mengenakan sama aku.” Ayu mengigit bibir.

“Kayaknya aku bakal mundur sama tugas ini, Rah.”

“Ning, bisa enggak sih kamu bujuk Ayu? Aku takut tugas kita nggak bakal selesai dengan baik. Mana kita harus latihan ekstra belum nentuin model kostum yang menarik. Kamu bujuk ya dia?”

“Nggak bisa, Rah, yang ada aku malah naik darah melihat tampangnya yang menyebalkan itu. Dia udah besar, udah tau mana yang baik dan buruk.”

“Tapi ini untuk tugas kita!” Rahma hampir membanting bolpoint yang dipegangnya. Suaranya yang pelan tidak meninggalkan kesan gemas di dalamnya. Ingin dia berteriak sekencang-kencangnya. Namun disaksikan oleh Pak Anwar, yang sedang menerangkan materi Matematika di depan papan tulis membuat nyalinya ciut.

Ningsih merapikan jilbabnya lalu meregangkan leher berikut tubuhnya. Setelahnya menarik napas gusar. Mencatat hal-hal penting yang diterangkan oleh guru di depan terjeda. Sekarang atensinya teralih pada Rahma yang wajahnya memerah menahan kesal. Mungkin Rahma merasa bertanggung jawab atas tugas yang diemban. Malu juga jika diperolok-olok oleh temannya yang lain, yang sudah latihan dari kemarin-kemarin.

“Sebenarnya aku kesal sama Ayu bukan tanpa alasan yang jelas, Rah. Hanya saja aku sedih mengetahui fakta bahwa budaya kita mulai tergerus sama budaya negara lain.”

“Kita masuk dalam era globalisasi, Ningsih. Kalau kamu lupa.”

“Yah aku tau, aku tau ini emang salah satu efek dari globalisasi. Budaya luar bisa masuk ke negara kita sewaktu-waktu. Yang aku takutkan, budaya luar itu akan mendominasi bumi pertiwi dan menghilangkan budaya kita secara perlahan-lahan. Aku takut tarian seperti tari Maengket, tari Uwela, tari Dana Dana, tari Jaipong, dan lain-lain bakal kurang peminatnya Rah.”

Rahma tersenyum, menepuk pundak Ningsih menenangkan. Gadis berkulit sawo matang itu terlihat sedih. Rahma paham perasaan Ningsih sekarang. Ia sedih menyaksikan anak-anak sebayanya sekarang lebih tertarik budaya luar dibandingkan budaya sendiri. Namun Ningsih bisa apa jika itu selera mereka? Ia hanya bisa berharap pada yang Maha Kuasa untuk segera menumbuhkan perasaan cinta akan budaya Indonesia kepada generasi bangsa mendatang.

“Kamu hanya perlu mengalah untuk berbicara padanya Ningsih, aku tau kamu orangnya lebih dewasa dari Ayu.”

Ningsih menggeleng tegas. “Aku enggak mau menginjak harga diri sendiri. Aku ingin dia yang menemuiku dan merubah pendiriannya.”

 ***

Panas merayapi hatinya. Di teras rumah Rahma berapa kali mondar-mandir tak keruan seperti setrika yang dijalankan. Sore yang makin gelap dan mulai meninggalkan eksistensinya membikin Rahma kalang kabut. Padahal ia sudah berpesan pada keduanya untuk latihan di rumahnya di sekolah. Menentukan tari yang akan mereka bawakan dan mencari cara bagaimana mendapatkan kostum yang sesuai. Namum keduanya tidak datang karena perihal yang sepele. Masalah yang menurut Rahma bisa diselesaikan baik-baik malah menjadi makin rumit seperti benang yang saling menjalin.

Tanpa pikir panjang. Ia mengotak-atik ponsel. Memberikan ancaman pada keduanya lewat pesan. Kemudian menghubungi Ningsih yang langsung saja diangkat.

“Halo,” sapanya.

“Kalo kamu nggak kesini sekarang, aku bakal marah Ning. Hubungi Ayu sekarang, aku nggak mau tau. Kalian berdua harus ada di sini kalo nggak aku yang bakal nari sendiri tanpa kalian berdua!” Setelahnya Rahma mematikan ponsel dengan napas tak beraturan.

“Kalian berdua kenapa sih? Masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik, secara kekeluargaan bukan malah lari dan mendem kekesalan di dalam hati.” Rahma memejamkan mata lalu menatap keduanya yang duduk di sofa saling berjauhan. Wajah keduanya tidak enak dipandang rupanya masih memendam dendam yang bertumpuk di dada.

Tiba-tiba pundaknya diusap lembut oleh tangan hangat milik bundanya. Manik matanya menoleh dan mendapati wanita berjilbab biru muda panjang itu menatapnya lembut menenangkan.

“Ningsih kamu boleh mengutarakan isi hati kamu sekarang dan tanpa diinterupsi Ayu,” 

Rahma cepat-cepat meralat begitu melihat wajah kebingungan mereka berdua, “Maksudku kamu bisa mengeluarkan unek-unek kamu sekarang agar Ayu bisa mengerti dan kalian berdua bisa menyelesaikan masalah yang ada secepatnya. Begitu juga berlaku sama Ayu.” Lanjutnya panjang lebar.

Keduanya mangut-mangut paham. Lalu Ningsih mulai bercerita. “Sebenarnya aku marah banget sama kamu, Yu. Dan marahku bukan tanpa alasan juga. Kamu dengan entengnya mengusulkan hal yang membuat harga diriku terusik. Kamu menyarankan bahwa tarian tradisional yang akan kita gunakan dirombak sedikit dan ditambahkan dengan gerakan tarian idola kamu. Aku merasa itu sangat salah soalnya kedua tarian itu jelas berbeda dan kenapa harus dirombak? Sedangkan tarian tradisional sendiri sudah memiliki seni yang sangat indah.

Kita nggak butuh mix apa pun, cukup menari dengan hati dan kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan, perhatian.” Ningsih menatap Ayu yang telah berada di samping. Tangan gadis itu ragu-ragu terulur padanya, menggenggam jemari sebelahnya erat.

“Kamu benar,” katanya lalu menghela napas. Perasaan bersalah kian menyeruak. Dia sadar apa yang dia lakukannya sungguh tak beradab. Pasti Ningsih merasa kecewa dengannya. Namun, dia hanya mengutarakan apa yang diyakininya. Dia merasa bahwa  itu bukanlah masalah yang besar tetapi ternyata tidak bagi Ningsih yang mengutamakan nasionalisme di atas segalanya.

“Aku juga salah, dan sebenarnya aku mengusulkan itu karena menurutku tariannya akan terlihat keren di mata para pengunjung. Sekarang budaya luar sedang digandrungi, aku pikir kita bisa menghibur mereka dengan itu. Tapi aku sadar, itu salah. Maafin aku Ningsih.” Mata Ayu berkaca-kaca lantas memeluk Ningsih erat. Tangan Ningsih sigap mengelus punggung kecil milik Ayu. Gadis manis berjilbab itu hampir menangis.

Ningsih langsung meledek. “Kalo nangis nanti jelek.”

Bunda dan Rahma tertawa pelan. Ayu cemberut.

“Aku juga minta maaf, aku terlalu keras sama kamu,” ujar Ningsih tulus.

“Sudah, sudah. Kalian berdua udah minta maaf kan? Ya udah case closed. Semuanya udah baik-baik aja. Sekarang kalian latihan ya? Mama nyiapin cemilan dulu.” Bunda beranjak setelah menepuk pundak Ayu dan Ningsih bergantian.

“Syukurlah, semuanya udah selesai. Yuk latihan.” Rahma mengajak lalu ketiganya beranjak. Namun saat akan keluar menuju teras, Rama, adik Rahma mencegat di depan pintu sambil tersenyum usil. “Kakak-kakak cantik, minta duit boleh?”



Penulis:

Yessi Talibo

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama