![]() |
Pendidikan menurut bahasa Yunani berasal dari kata pedagogik yaitu kata paid artinya anak, sedangkan agogos yang artinya membimbing, sehingga pedagogik dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak.
Menurut UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pandangan beberapa tokoh, Paulo Freire misalnya mengatakan bahwa pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan permanen dan terdiri dari dua tahap.
Tahap pertama, adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, dimana melalui praksis mengubah keadaan itu.
Tahap kedua, adalah dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.
Tujuan dari pendidikan adalah memanusiakan manusia agar lebih manusiawi. Artinya pendidikan adalah wadah yang didalamnya terdapat manusia yang mendidik manusia lain (guru dan siswa/dosen dan mahasiswa), agar menciptakan cara berpikir manusia lebih maju dan kritis.
Pendidikan juga merupakan instrument yang akan membawa manusia untuk keluar dari belenggu penindasan. Artinya seorang pendidik harus mampu mengarahkan mahasiswanya agar lebih berpikir kritis, berpikir maju dan yang terpenting adalah arah keberpihakan seseorang yang terdidik haruslah kepada kaum yang lemah atau masyarakat akar rumput.
Karena jika orang yang terdidik atau mahasiswa tidak lagi berpihak kepada masyarakat maka penindasan akan semakin berkepanjangan dan tidak akan terselesaikan. Sehingga pendidikan harus menjadi wadah pertama tempat manusia menemukan kebebasan dan kemerdekaannya.
Oleh karena itu, pendidikan sudah seharusnya menjadi tempat yang meciptakan manusia-manusia yang siap sedia untuk mengabdikan dirinya kepada kepetingan segenap rakyat, dan pendidikan harus dijaga agar tidak keluar dari eksistensi pendidikan tersebut.
Pertanyaan kemudian, apa yang kita harapkan dengan kondisi pendidikan yang semakin mahal, tidak demokratis, tidak bermutu, tidak memadai (fasilitas) dll. Namun kita masih repot-repot kuliah?
Jawaban sederhana mayoritas mahasiswa saat ini pasti ingin mendapatkan Ijazah untuk mempermudah mencari kerja.
Selembar kertas inilah yang menjadi dorongan setiap orang yang tetap bertahan di dunia akademik, meski dia diperbudak, dibodohi namun tetap sabar menghadapi semua ini. Sehingga sebagian besar dari mahasiswa memandang bahwa pendidikan adalah jalan menuju ijazah, prestasi dan kerja (Buruh murah).
Namun saya masih tetap bersepakat dengan pendapat Paulo Freire, yang menjadikan pendidikan sebagai alat perlawanan dan pembebasan.
Paulo Freire dalam bukunya Siti Murtiningsih, “Pendidikan Sebagai Alat Perlawanan”. Paulo Freire sempat mengingatkan kita bahwa yang lebih penting dari pendidikan adalah sebagai alat perlawanan.
Ini berarti pendidikan sudah seharusnya mengambil posisi kritis dalam penyelesaian tatanan sosial yang tidak berkeadilan. Pendidikan sudah seharusnya mampu menerapkan sistem demokrasi tanpa ada kekerasan di dunia penddidikan.
Namun, di Indonesia masih banyak kampus yang keluar dari sistem yang demokratis dan berkeadilan.
Jika kita coba lihat beberapa kampus yang ada di Indonesia ternyata masih terjadi represifitas terhadap kebebasan akademik.
Kebebasan akademik belum sepenuhnya dilindungi dalam kehidupan kampus, meskipun UU No.12 Tahun 2002 tentang pendidikan tinggi, dalam pasal 8 ayat(1) menyebutkan, “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan, “pelaksanaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pribadi sivitas akademik, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi.
Sekalipun telah jelas dalam UU yang menjelaskan bahwa kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik wajib difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi, namun yang terjadi sekarang ini malah membatasi kebebasan mimbar akademik.
Kita bisa lihat di sepanjang tahun 2019, terjadi beberapa model kasus di kampus-kampus yang ada di Indonesia, kasus-kasus paling dominan terjadi di dunia akademik meliputi matinya demokrasi kampus, biaya kuliah mahal, persekusi, ancamaan pembunuhan, kriminalisasi, gugatan tidak wajar (SLAPP/Strategic LawsuiAgPublic ParticiAgainst pation), pembubaran Pers mahasiswa, skorsing terhadap mahasiswa, dll.
Di sisi lain, dalam konteks kebijakan, pasal dalam undang-undang sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi (UU SISNAS IPTEK) rawan dipolitisasi oleh pihak berwenang dengan alasan keamanan negara. Sehingga mengancam kebebasan akademik.
UU tersebut mengatur bahwa peneliti dapat dijatuhkan pidana jika melakukan penelitian yang berbahaya tanpa ijin dari pemerintah, ditambah lagi dengan kebijakan dalam bentuk keputusan bersama 11 menteri tentang penanganan radikalisme dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan pada aparatur sipil negara.
Keputusan pemerintah tersebut berlebihan, tidak memiliki dasar hukum yang tegas dalam memaknai radikalisme, juga berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan, serta memperlihatkan negara kian menjauh dari prinsip negara hukum dan keadilan.
Peristiwa-peristiwa di atas adalah refleksi, sesungguhnya negara Indonesia tidak ikhlas dalam mencerdaskan anak bangsa. Terlebih khususnya dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sebagai alat pembebasan ini hadir sebagai antitesa dari situasi sosial saat ini, ataupun situasi dunia pendidikan yang belum dijalankan dengan baik.
Tujuan akhir pendidikan sejatinya adalah pembebasan dan kemanusiaan. Dari dua tujuan ini dapat dilihat ternyata penyadaran merupakan hakikat dari pendidikan.
Tujuan pembebasan diperantai oleh hubungan dialektis lain, yaitu kesadaran manusia dan dunia. Kesadaran kritis ini bisa terjadi melalui refleksi dan aksi kenyataan dunia dalam upaya mengubahnya.
Ini berarti refleksi dan aksi adalah bagian tak terpisahkan dalam situasi perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pendidikan sebagai alat pembebasan merupakan pendidikan yang melawan sistem pendidikan otoriter (banking education) yang memisahkan mahasiswa dengan isi dan proses pendidikan.
Pendidikan gaya bank ini mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuan itu semacam barang yang ditransfer dari dosen ke mahasiswa. Mahasiswa hanya menjadi objek yang dianggap bodoh oleh pihak dosen sehingga mahasiswa hanya dijadikan sebagai wadah untuk menampung ilmu pengetahuan. Mahasiswa hanya disuruh untuk berbicara, mencari informasi, dan menghafal apa yang sudah diberikan oleh dosen tanpa memahami maksud dan tujuan dari ilmu pengetahuan yang didapat.
Model pendidikan tersebut tidak memberi ruang kreasi bagi mahasiswa sehingga mahasiswa yang duduk selama kurang lebih 16 tahun di dunia pendidikan, jika di hitung dari awal masuk sekolah SD. Mahasiswa hanya dijadikan alat yang nantinya bekerja di instansi–instansi yang hanya menguntungkan pihak kapitalisme dan menindas rakyatnya kembali.
Dari pendidikan gaya bank yang hanya berusaha melancarkan arus investasi dan memperpanjang garis–garis penindasan dan kemiskinan. Saya coba memberikan tawaran pendidikan dengan gaya lain yaitu pendidikan yang menghubungkan dosen dan mahasiswa secara demokratis.
Artinya dosen adalah mahasiswa dan mahasiswa adalah dosen. Model pendidikan ini disebut problem possing education atau pendidikan model hadap masalah. Model pendidikan ini mencoba membawa mahasiswa agar dapat berpikir bahwa manusia itu tidak dapat dilepas pisahkan dari alam sekitarnya.
Pemahaman inilah yang harus diperhadapkan atau dipertentangkan kepada mahasiswa untuk menimbulkan kesadaran kritis transitif. Artinya mahasiswa dapat mendalami masalah–masalah serta mampu menafsirkan sehingga ada dialog antara dosen dan mahasiswa.
Melalui dialog inilah mahasiswa dapat merefleksikan hubungan sebab akibat. Jadi dalam model pendidikan ini, tidak ada dikotomi antara kegiatan pendidik yang mengajar dan peserta didik yang sedang belajar. Tetapi keduanya sama-sama belajar dan mengajar.
Pada akhirnya, pendidikan adalah sebuah metode dialogis kritis yang mengikutsertakan mahasiswa dalam upaya penyadaran realitas dari dunia untuk mencapai tujuan yang suci. Yaitu kebebasan dan kemanusiaan.
Oleh: Fiky Gumeleng (Mahasiswa IAIN Manado)