Dokpri.
Masih gegara pandemi. Pandemi semakin mencekam nurani Ibu Pertiwi. Sebelumnya yang hebat kini menjadi yang bejat; keharmonisan masyarakat di sela-sela pandemi ini. Lihat hari ini, ada keharmonisan yang sangat terstruktur dan masif, tapi bukan di masyarakat, melainkan oligarki.
Di balik tembok kekuasaan -- 'mengambil kesempatan dalam kesempitan'. Pandemi yang mampu mempengaruhi ethics of care, para elite politik kita, seharusnya. Tapi sebaliknya, elite mampu menciptakan pandemi di tengah porak-porandanya keadaan. Apa yang sebenarnya tengah mereka lirik di situasi kalut seperti saat ini?
Dewasa ini, masih ada saja yang tidak dihentikan, pembahasan undang-undang Omnibus Law, misalnya. Lantas apa tujuan dalam agenda itu? Untuk siapa dan mengapa Omnibus Law dibahas di tengah pandemi ini? Bukanlah seharusnya kita melakukan pembatasan sosial berskala besar? Disusul proyek pembangunan 'Ibukota baru' yang terus berjalan di tengah pandemi. Ditambah lagi keadaan ekonomi semakin menghimpit semua kalangan masyarakat: maraknya PHK sana-sini, tidak tepatnya penyaluran BLT, Bansos, tuntutan mahasiswa tentang penurunan uang kuliah tunggal (UKT), dsb. Dimana gotong royong kita dalam hal menyelamatkan? perlahan masyarakat dibinasakan.
Sedikit melirik persoalan UKT, mahasiswa marak menyuarakan aspirasinya terkait penurunan biaya UKT, namun naif rasanya, yang seolah-olah belum ada tanggapan dari pihak terkait. Akibat pandemi, banyak pekerja yang di PHK, buruh kehilangan mata pencaharian, petani dihimpit dengan harga pasar yang rendah, dan masih banyak lagi pengaruh sektor ekonomi akibat pandemi ini. Bukan hal wajar semua tanggungan dibebankan terhadap kami.
Percaya atau tidak, pelajar dan mahasiswa akan kehilangan produktivitas dan eksistensialnya. Percaya atau tidak, dengan teori konspirasi, kami menuntut konteks hari ini, kami hanya menyuarakan nurani kami.
Sekiranya tuan nan puan, kita bisa bayangkan semua kepentingan investasi dan sebagian sektor perekonomiannya dikerahkan untuk penanganan Covid-19. Hal-hal seperti inilah yang bisa dikatakan semacam gotong royong, atau, sebut ia integrasi untuk melawan pandemi yang mencekam.
Semua pudar dengan gotong royong yang busuk dan munafik. Banyak yang setuju jika seharusnya yang di karantina adalah mereka yang membuat 'pandemi' di tengah pandemi, isolasi mereka yang melihat 'kesempatan' di masa pandemi, dan lockdown seluruh mereka yang membawa virus rasuah di tengah pandemi ini.
Sudah waktunya kita harus menentukan sikap sebagai anak bangsa, bukan saatnya untuk kita diam dalam situasi seperti ini. Saling curiga hal yang melelahkan. Buruh, tani, dan mahasiswa sudah sangat resah, dan sudah waktunya untuk kita bahu membahu, gotong royong untuk memulihkan luka Ibu Pertiwi dalam kondisi seperti saat ini.
Ini adalah situasi darurat demokrasi, kleptokrasi demokrasi tepat disandarkan di tengah pandemi ini. Jangan sampai demokrasi dibatalkan oleh kepentingan korporasi atau oligarki. Birokrasi harusnya merawat semangat reformasi bukan investasi.
Nurani Ibu Pertiwi.
Penulis
Rahmat Uno