![]() |
Ilustrasi Nalar-Progresif (dok.https://images.app.goo.gl/oehCNLAnRzgTC84GA) |
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sejak awal tahun 2020 menghantam hampir seluruh Negara, termasuk Indonesia.
Dampak virus tersebut mengakibatkan kelumpuhan pada beberapa sektor yang ada di Indonesia; mulai dari sektor ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, serta kesehatan.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, beberapa aturan mulai dikeluarkan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19, salah satu diantaranya adalah sektor Pendidikan.
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menegaskan bahwa, perlunya perubahan metode pembelajaran di masa pandemi. Metode pembelajaran pun dialihkan ke sistem Dalam Jaringan (DARING) lewat berbagai macam aplikasi, sehingga diharapkan bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Setelah beberapa bulan berlalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan Normal baru untuk mengembalikan situasi Negara yang semakin hari semakin memburuk. Aktivitas di segala sektor pun mulai dijalankan melalui kebijakan tersebut, termasuk sektor politik.
Aktivitas politik yang penulis maksudkan secara lebih spesifik adalah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang sementara berlangsung di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Penggunaan protokol kesehatan dan terutama menghindari kerumunan massa adalah syarat untuk memutus mata rantai penyebaran virus tersebut, akan tetapi sebagaimana keadaan yang penulis dapati di Kota Manado, terutama proses berjalannya Pilkada justru berbanding terbalik.
Masyarakat tidak lagi memperhatikan aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak terkait tentang pembatasan jumlah orang untuk berkumpul dalam satu aktivitas, yaitu menghindari kerumunan massa, keramaian dalam proses Pilkada pun menjadi suatu keniscayaan.
Mengapa Pilkada Masih terus berjalan? Ada beberapa alasan yang saya jumpai yang menjadi penguat agar Pilkada terus berlangsung yaitu, “Karena kita mengalami krisis ekonomi, krisis kesehatan, krisis budaya. Nahh... Jika kita tidak melangsungkan Pilkada kita justru akan krisis politik”. Demikian ungkapan dari seorang yang tidak perlu disebutkan namanya.
Keramaian ini juga saya jumpai di kampus IAIN Manado, mulai dari kegiatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Provinsi, dan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (LKM) yang digelar oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA).
Tetapi, tidak dengan kegiatan belajar mengajar pada sektor pendidikan, saya pun berasumsi bahwa berjalannya Pilkada karena pemerintah memberi stimulus regulasi untuk keberlanjutannya sementara sektor pendidikan justru dibatasi dengan Kuliah Online yang serba tidak efektif.
Kalau pun Pilkada dilangsungkan secara vis-a-vis dengan alasan tidak efektif jika ditunda, maka sama halnya dengan Proses belajar-mengajar. Jika Pilkada bisa berlangsung dengan Protokol Kesehatan maka saya pikir Perkuliahan pun bisa demikian. Hal ini tentu perlu diperhatikan oleh pemerintah karena berkaitan dengan keberlangsungan generasi.
Pada tanggal 26 Maret 2020 Rektor Istitut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai "Kebijakan Kewaspadaan & Pencegahan Penyebaran COVID-19 untuk Lingkungan Kampus IAIN Manado". Akhirnya, seluruh civitas akademik IAIN Manado harus melakukan kegiatan belajar-mengajar secara online.
Kegiatan tersebut berlangsung selama beberapa bulan terakhir, malahan mulai memberikan efek yang kurang baik kepada Mahasiswa maupun Dosen. Diantaranya proses penyerapan pemahaman yang sangat lamban dan kurang efektif, waktu belajar yang seringkali terganggu oleh jaringan internet yang tidak stabil, kesulitan mengakses ruang pembelajaran online yang tidak menggunakan satu aplikasi, kesulitan mengakses jaringan internet di beberapa pelosok desa dan beranekaragam persoalan lainnya.
Bukan itu saja, mahasiswa juga dibebankan dengan pemberian tugas yang relatif lebih banyak tanpa menimbang proses pembelajaran yang kurang efektif, secara tidak langsung kita sudah tidak lagi memperhatikan perihal pemahaman dari Mata Kuliah (MK) yang diajarkan, akan tetapi hanya terus-menerus mengerjakan tugas demi kebutuhan angka pada nilai ujian akhir nanti.
Bukan hanya mahasiswa, bahkan dosen sebagai tenaga pengajar pun pasti merasakan hal yang sama, penulis bahkan mendapati beberapa dosen yang secara langsung maupun tidak langsung mengungkapkan bahwa kuliah online tidak efektif untuk pembelajaran mahasiswa, sebab dari itu ada beberapa dosen yang sudah memulai kegiatan perkuliahan di kampus IAIN Manado.
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana nasib sebagian mahasiswa yang masih berada di kampung? Yaa, pasti mereka akan mendapatkan komposisi pembelajaran yang tidak proporsional.
Di sisi lain kampus IAIN Manado terkesan labil dan tumpang tindih aturan. Mengapa? Jawabannya adalah karena ternyata kampus telah mengeluarkan izin untuk pelaksanaan kegiatan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (LKM) pada tiga Fakultas yang ada di IAIN Manado; Fakultas Syariah, Ekonomi Bisnis Islam, dan Ushuludin Adab dan Dakwah. Dan juga yang menjadi kekecewaan mahasiswa terhadap Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) karena tidak memperhatikan apa yang seharusnya didahulukan.
Tentu konflik ini merupakan permasalahan yang darurat dan harus segera untuk diselesaikan. Misalnya, dengan pembuatan aturan baru mengenai perkuliahan yang menghindari proses pembelajaran yang kurang efektif sebagaimana penjelasan yang ada di atas atau bahkan dengan memberikan konsep baru untuk metode pembelajaran yang lebih efektif di lingkungan kampus tercinta, IAIN Manado.
Hidup mahasiswa!
Manado (10/11/2020)
Fandi Umar
Mahasiswa IAIN Manado