Kampus dan Organisasi Cipayung

Flayyer diskusi lintas komisariat organisasi cipayung (08/01/22)

Awalnya, saya sempat bertanya-tanya ketika kawan-kawan dari Organisasi Cipayung menghubungi saya untuk menjadi salah satu narasumber dalam diskusi lintas komisariat, dengan tema pembahasan, "Menakar Eksistensi Pergerakan Mahasiswa dalam Menyikapi Dinamika Sosial di Lingkungan Kampus", suatu tema yang secara tekstual dipahami sebagai pembahasan yang akan mengukur pengalaman atau kondisi objektif di masing-masing kampus. Dalam hal ini, saya mewakili PMII Komisariat IAIN Manado, yang wilayah garapannya ada di kampus tersebut.

Setidaknya, ada dua hal yang menjadi pertanyaan sekaligus perspektif dalam tema pembahasan: Pertama, jika maksud dari tema tersebut adalah seperti yang saya jelaskan di atas, maka kita akan tiba pada pembahasan yang tidak tepat secara wilayah garapan. Tema tersebut akan mengarahkan saya menyampaikan problem internal, baik kesadaran mahasiswa, ataupun masalah struktural kebijakan kampus. Suatu pembahasan yang tidak tepat jika dibicarakan di forum lintas komisariat, terlebih berbeda kampus. Nanti akan dianggap curhat.

Kedua, apakah yang dimaksud adalah problem sosial, yang didiskursuskan di ruang kampus? Jika demikian, maka diskusi ini menarik. Mengapa? Karena ini akan mengarahkan narasumber untuk menakar seberapa jauh organisasi cipayung masih terus menjadi role model dan pendorong terjadinya diskursus di dalam kampus. atau bahkan menjawab pertanyaan; mengapa terjadi kontras gerakan mahasiswa dulu dan saat ini? Yang dianggap bahwa gerakan mahasiswa saat ini telah meredup. Pada konteks diskusi ini, saya lebih bersepakat untuk membahas pada yang kedua. Sehingga saya mengambil poin ini untuk diuraikan lebih lanjut.

Kita tahu bahwa, gerakan mahasiswa saat ini tidak semasif dan sesering era sebelumnya, katakanlah era 2015-2000. Kenapa demikian? Saya akan memulainya dengan menjelaskan peralihan modus produksi ilmu pengetahuan, yang berimplikasi pada orientasi intelektual seseorang ataupun komunitas.

Kita sedang berada pada zaman di mana tekhnologi, salah satunya internet, berperan sangat pesat terhadap aktivitas manusia sehari-hari. Dengannya kita dimudahkan. Noam Chomsky, seorang Profesor Linguistik dari Institut Tekhnologi Massachusetts, mengatakan bahwa internet bisa menjadi langkah yang sangat positif untuk memajukan pendidikan, organisasi, dan partisipatif masyarakat. Namun ia juga bisa menjadi otoritas pemakan.

Dalam hal pendidikan, hanya sekali klik, informasi berseliuran bak air bah. Semuanya bisa mengakses dengan mudah. Seseorang lebih berorientasi mengaksesnya lewat internet -tanpa mengeneralisir- dibandingkan dengan bergulat melalui buku-buku bacaan, seperti halnya zaman dulu. Di satu sisi, ini merupakan hal yang sangat baik. Di sisi lain, berimplikasi pada, apa yang Tom Nichols sebut sebagai "matinya kepakaran". Sebuah keadaan di mana manusia tidak lagi mempunyai rujukan yang otoritas di dalam menafsirkan dan menguak suatu misteri dan realitas. Semua orang menjadi pakar.

Hal tersebut berimplikasi pada konteks mahasiswa, yang dominan dijuluki sebagai "aktivis mahasiswa". Saya tertarik dengan penjelasan Martin Suryajaya dalam channel youtubnya, ia menjelaskan bahwa, dulu menjadi aktivis (Martin menggunakan istilah Social Justice Warrior) adalah suatu kemewahan intelektual, yang dihasilkan dari proses belajar yang intens dan terstruktur. Bahkan, menjadi aktivis dulunya merupakan suatu prestasi.

Zaman berkembang, platform-platform internet menyediakan sosial media sebagai wadah penyaluran berbagai informasi, yang bisa memudahkan setiap manusia di wilayah kiri-kanan-atas-bawah bisa mengaksesnya. Sehingga ia menjadi metode. Metode dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan, oleh manusia yang tak mengenal siapa dia. Sehingga, isu-isu yang diperjuangkan aktivis tidak lagi hanya oleh kalangan elite terpelajar, tapi ia sudah menjadi pengetahuan umum common sense, dan isu bersama bagi khalayak. Alhasil, menjadi aktivis tidak lagi dihasilkan dari proses belajar yang intens dan terstruktur. Semua orang dengan mudahnya mengomentari, bahkan menentang dengan keras ketika terjadi ketidakadilan sosial.

Dengan perkembangan tekhnologi internet yang belum lama ini, mengubah orientasi gerakan mahasiswa yang dulu bahkan hampir tiap seminggu, bahkan perhari turun kejalan, berubah menjadi gerakan ketikan jari-jemari sambil rebahan dalam mengomentari dan menentang ketidakadilan sosial tadi. 

Walaupun jika kita radikalisir dengan pertanyaan, apakah aktivis hanya sekedar menentang isu-isu ketidakadilan sosial dengan berkoar-koar dengan suara lantang?

Saya pikir, anggapan itu adalah suatu bentuk pemikiran yang sempit. Adalah kesimpulan yang keliru jika memandang aktivis dulu hanya sekedar koar-koar. Lebih dari itu. Mereka menapak jalan-jalan yang sunyi; melakukan advokasi. Merasakan penderitaan rakyat secara langsung. Dalam teori sosiologi, fenomenologi, mereka lah yang seharusnya punya representatif untuk mengomentari ketidakadilan sosial secara real.

Maksud saya, jika gerakan demonstrasi yang menjadi ideal organisasi-organisasi cipayung dalam mempertahankan tradisi dan julukannya sebagai aktivis mahasiswa, maka itu tidaklah cukup: ia harus melampaui itu.

Dalam konteks PMII Komisariat IAIN Manado, Cabang Metro Manado, model aktivis yang melakukan advokasi, masih menjadi tujuan ideal dalam membentuk kader pada proses kaderisasi. Entah melakukan advokasi terhadap permasalahan kampus, ataupun terhadap problem sosial. PMII sangat memahami situasi zaman yang membuat orientasi gerakan mahasiswa berubah. Internet yang dianggap baik karena memudahkan informasi, secara bersamaan membuat banyak mahasiswa menjadi apatis terkait dengan masalah-masalah sosial.  Lebih banyak kita jumpai mahasiswa yang tidak menulis dan memberikan perspektif terkait problem sosial di media sosial. Lebih banyak kita temui mereka mengomentari hal-hal yang konyol dibandingkan mengomentari hal-hal yang lebih subtil. Jika organisasi Cipayung adalah organisasi yang masih memegang tegung budaya intelektual dan "aktivis", maka hal tersebut merupakan tugas kita untuk memberikan penyadaran.

Tekhnologi telah mengubah orientasi gerakan maupun kesadaran mahasiswa, secara tidak langsung ini menuntut kita untuk merefleksikan peran dari organisasi-organisasi cipayung dalam kerja-kerja intelektual, khususnya di kampus. Selain upaya menjaga tradisi intelektual juga sebagai penyadaran kepada masyarakat kampus.

Misalnya tentang problem maraknya kekerasan seksual. Seberapa jauh organisasi cipayung melakukan kajian tentang masalah tersebut? Masikah organisasi cipayung mengawal rancangan peraturannya yang sampai saat ini belum disahkan? Apakah problem sosial di tiap-tiap daerah tiba di ruang kelas kampus untuk didiskusikan? Khusunya komisariat-komisariat organisasi Cipayung, apakah problem kekerasan seksual hendak didiskusikan di kampus? Apakah Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dibahas bersama dengan pimpinan kampus? Di situ sebetulnya letak strategis komisariat organisasi cipayung. Menghantarkan problem sosial ke ruang-ruang akademik kampus. 

Masalah agama juga penting untuk menjadi perhatian khusus, masalah yang kian memenuhi tiap percakapan-percakapan publik, selalu menjadi tranding topic di media sosial. Masalah agama yang dimaksud bukanlah ceramah-ceramah yang menyejukkan, mendamaikan. Yang kita lihat adalah sebaliknya. Bagaimana tidak,  ceramah-ceramah pemuka agama memuat konten yang membedakan kelompok satu dengan lainnya. Menyalahkan satu dengan yang lainnya. Sehingga bisa berpotensi memecah persatuan yang sekian lama telah kita rawat bersama.

PMII melihat hal ini sebagai salah satu problem sosial. Mendiskursuskan ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah, Islam Nusantara, Moderasi Beragama di ruang-ruang kampus, adalah upaya PMII dalam meminimalisir potensial problem agama.


Manado, 10 Januari 2022.

Ahyar Mokodompit

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama